BPJS Dinaikan, YLKI: Apa Bedanya Dengan Asuransi Komersial?


Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai kenaikan tarif iuran BPJS kesehatan bagi peserta mandiri merupakan kebijakan kontra produktif dan tidak mempunyai rasa empati terhadap masyarakat. YLKI menyesalkan kenaikan tarif iuran di tengah lesunya pertumbuhan ekonomi dan menurunnya daya beli masyarakat.

YLII menilai, kenaikan iuran BPJS berdasarkan Perpres No. 19 Tahun 2016 dilakukan demi menutup defisit operasional yang mencapai lebih dari Rp7 triliun, sejak 2014.

Pasalnya, hingga detik ini, BPJS belum mempunyai standar pelayanan minimal yang jelas. Hampir di semua lini pelayanan BPJS masih sangat mengecewakan masyarakat. YLKI mendesak pemerintah membatalkan kenaikan iuran BPJS.

"Masih banyak pasien yang ditolak opname di rumah sakit tanpa alasan yang jelas. Sekalipun diterima rumah sakit, tapi service rumah sakit terhadap peserta BPJS sangat timpang dibanding dengan peserta non BPJS. Dan seabreg kekecewaan seperti obat tertentu yang tidak ditanggung, dan antrian panjang, hingga pasien menjemput ajal karena belum ada tindakan medis," ujar Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, dalam keterangan pers yang diterima, Senin (14/03/2016).

Tulus juga mengkritisi Kenaikan tarif BPJS yang dinilai merupakan bentuk pelanggaran prinsip kegotongroyongan yang menjadi "jiwa" asuransi sosial dalam BPJS.

"Jika tarif BPJS terus dinaikkan, apa bedanya BPJS dengan asuransi komersial? Kenaikan iuran BPJS bisa dikategorikan melanggar Nawacita," tandas Tulus.

Tulus beranggapan, jika pemerintah tetap ingin menaikkan iuran BPJS, seharusnya yang dinaikkan ialah peserta PBI, yang menjadi tanggungan negara.

Pemerintah harus menambah besaran iuran PBI, sebagai tanggungjawab konstitusional negara bahwa kesehatan adalah hak asasi warga negara.

"Seharusnya pemerintah justru berterima kasih pada peserta BPJS mandiri, bukan malah mengeskploitasinya dengan menaikkan tarifnya. Pemerintah bisa menggunakan separuh dari dana cukai rokok yang diperolehnya," jelas Tulus

Manajemen BPJS dan juga pemerintah diharapkan tak berpandangan bahwa setelah adanya BPJS, masyarakat tidak serta merta tidak mengeluarkan belanja kesehatan selain BPJS.

"Justru yang terjadi sebaliknya, masyarakat lebih banyak mengeluarkan budget kesehatan (fee for service), sebagai akibat masih buruknya pelayanan BPJS," ujar Tulus.

"Berapapun iuran yang diberikan BPJS, maka finansial BPJS akan tetap defisit, bahkan jebol jika belum ada perbaikan fundamental dari sisi hulu, yakni memperbaiki perilaku hidup sehat masyarakat (dengan tindakan preventif promotif), dan mengembalikan distrust (ketidakpercayaan) masyarakat pada pelayanan kesehatan tingkat dasar," tutup Tulus. [rimanews][beritaislamterbaru.org]